Y U D H I S
Oleh: Andry Friyadi

Bintang dan orbit. Korelasi keduanya adalah perkawanan satu-satu. Setiap bintang memiliki orbitnya masing-masing. Tidak akan bertukar tempat satu sama lain, kecuali alam sudah tak sabar untuk berjumpa dengan ajalnya. Dalam satu orbit tidak mungkin ada dua atau lebih bintang. Itulah yang pernah dikatakan salah satu guru saya dan sampai sekarang saya tidak pernah melupakannya.
Dalam konteks pendidikan, setiap anak memiliki jalannya masing-masing. Bolehlah seorang anak tidak menyukai matematika atau ilmu ukur, tetapi pasti ia akan memunculkan kecerdasan lain yang orang lain tidak memilikinya. Bisa saja seseorang tidak unggul di satu bidang, tetapi yakinlah ia adalah juara di bidang lainnya. Dan seorang anak spesial di sekolah saya, telah membuat pengetahuan saya tentang kecerdasan majemuk berubah bentuk menjadi keyakinan yang mengkristal.
Namanya Yudhistira. Orangtua, guru-guru, dan teman-temannya memanggilnya Yudhis. Ia salah satu anak berkebutuhan khusus yang saat itu duduk di kelas 6 SD. Sekilas, ia seperti layaknya anak normal lainnya, tidak ada yang berbeda dari penampilannya. Tetapi setelah menilik dan memerhatikan tingkah laku dan cara berbicaranya, kita akan dapat menyimpulkan ada sesuatu yang luar biasa, yang ada dalam dirinya.
Seringkali saya kehilangan Yudhis di dalam kelas, karena ia lebih suka duduk di atas lantai di balik kursi tempat duduknya, atau karena ia lebih senang “merantau” ke perpustakaan sekolah untuk membaca komik-komik favoritnya. Kalaupun ia sedang “tercerahkan” untuk duduk manis di atas kursi di dalam kelas, maka yakinlah bahwa pandangan matanya lebih terfokus pada sehelai kertas di atas meja yang penuh dengan coretan-coretan gambar hasil buah tangannya. Untuk medapatkan perhatiannya, setidaknya saya mesti memanggil namanya tiga kali, Yudhis .. Yudhis .. Yudhis. Dan itu pun tidak menjamin ia akan menengokkan kepalanya ke arah saya. Tetapi jangan heran, kalau ia ditanya tentang materi yang baru atau sudah dijelaskan di depan kelas, ia akan menjawabnya dengan lancar dan rinci.
Ia mahir berbahasa Inggris, menyukai peta dunia, mencintai film kartun, dan sangat menggemari musik etnis. Pernah suatu kali ia membuka internet dan menelusuri situs youtube dalam dua jendela browser yang berbeda. Lalu ia mencari video musik etnis dari Amerika Latin dan Afrika. Setelah ditemukan, dalam waktu bersamaan, kedua jenis musik itu dimainkan. Hasilnya sangat luar biasa, terdengar kombinasi musik etnis yang sangat unik dan indah. Sambil mengetuk-ngetukkan jemari dan menghentak-hentakkan kakinya, ia berseru, “INILAH KONSER MUSIK TERBESAR ABAD INI!” Di saat orang-orang yang menyaksikan kejadian ini terpana, ia tidak memedulikannya sedikit pun.
Pada kesempatan lain, ketika duduk di kelas 2, ia dikirim oleh sekolah untuk mengikuti lomba story telling atau bercerita dalam bahasa Inggris. Padahal para peserta lainnya adalah anak-anak biasa yang normal, yang mungkin lebih mahir berbahasa Inggris. Tetapi sekolah memiliki prinsip dan pertimbangan yang kuat bahwa setiap anak adalah cerdas dan mempunyai hak untuk mengikuti sebuah perlombaan. Yudhis membuktikannya. Ketika gilirannya tiba, ia naik ke atas panggung dengan yakin dan percaya diri. Lalu berceritalah ia sambil duduk selonjoran, berbaring, dan sekali-sekali meloncat seraya berteriak mengikuti alur cerita yang ia bawakan. Para penonton terkesima. Semua juri terkagum-kagum. Ia berhasil meraih juara pada lomba itu.
Saya cukup dekat dengan Yudhis. Saya mengajarnya sejak ia duduk di kelas 5 hingga kelas 6. Satu hal yang saya amati dari Yudhis adalah ia memiliki daya imajinasi yang sangat tinggi. Tidak jarang ia bercerita tentang Anastasia dan Susanti, tokoh-tokoh khayalannya, dengan semangat dan ekspresi yang menggebu-gebu. Di saat lain ia berkisah tentang Liza dan Jack, tokoh khayalannya yang lain, seakan tokoh-tokoh itu ada di depan matanya. Hebatnya lagi, cerita-cerita itu dipadu-padankan dengan kesehariannya di rumah dan di sekolah.
Pada suatu hari, ia memberi saya sebuah hadiah berupa coretan gambar dan tulisan cerita di kertas HVS. Dalam kertas itu, saya digambarkan dengan cara yang lucu dan komikal: Rambut acak-acakan, gigi tanggal dan jarang, berkantung mata hitam dan tebal, dan memiliki ingus. Ia memberi judul, “Manusia Setengah Tua” pada ceritanya. Tentu saja cerita itu merujuk pada saya sebagai gurunya. Saya tidak kesal, apalagi marah.
Saya berkata, “Yudhis, gambarnya bagus sekali. Buat Pak Andry, ya?”
Yudhis menjawab, “Ya, gambar ini memang buat Pak Andry.”
Saya penasaran untuk bertanya, “Yudhis, kenapa gambarnya harus Pak Andry? Kenapa tidak guru-guru yang lain saja?”
Yudhis menjawab, “Karena saya suka Pak Andry!”
Saya suka dengan jawabannya.
Menjelang akhir tahun ajaran, sekolah dan POM (Persatuan Orangtua Murid) kelas 6 mengadakan perpisahan kelas 6. Acara itu menampilkan kreativitas anak-anak kelas 6 yang disuguhkan dalam bentuk beragam performance. Beberapa anak menampilkan kabaret, beberapa lagi menyuguhkan flashmob (menari bersama), beberapa lagi menunjukkan kemampuan mereka berolah suara. Yudhis, ketika itu, dengan berani dan percaya diri naik ke atas panggung untuk membawakan stand up comedy.
Bahkan sebelum ia naik panggung, para penonton sudah bertepuk tangan riuh begitu namanya dikumandangkan MC. Dan, inilah kekhasan Yudhis, ia pun bergegas menuju panggung dengan cara berlari setengah meloncat, dengan wajah yang seolah tidak peduli dengan banyaknya orang yang tertawa melihatnya. Lalu dengan sigap ia mengambil sebuah kursi di pinggir panggung dan menaruhnya di tengah-tengah panggung. Sejenak ia melihat ke arah penonton, masih dengan tatapan yang tidak peduli. Kemudian ia duduk di atas kursi dan mulai beraksi.
“Hmmm .. hmmm .. Apa ya?”
Dia masih menengok kiri-kanan. Penonton tertawa lebih bersemangat lagi.
“Di suatu kota .. kota apa ya .. Kota Bandung lah .. seorang ibu guru bertanya kepada muridnya.
“Kamu dari mana?” tanya Ibu Guru.
“Saya dari Bandung, Bu,” jawab anak itu.
“Orangtuamu dari mana?”
“Ayah dan ibuku dari Kediri, Bu.”
“Nama ayahmu?”
“Triyono.”
“Nama Ibumu?”
“Sademi.”
“Lalu, kok nama kamu kayak orang dari Eropa, Dmitri Sabklitunov?”
“Itu singkatan Bu. Dmitri dari Sademi dan Triyono.”
“Kalau Sabklitunov?”
“Saya lahir hari Sabtu Kliwon Tujuh November.”
Kemudian Yudhis kembali beraksi.
“Tahukah kamu bagaimana membedakan antara uang seratus ribu asli dan palsu?”
“TIDAAKKKK!” jawab penonton.
“Begini .. cara membedakan uang 100 ribu yang asli dan yang palsu dengan cara melipatnya. Jika kaca mata Bung Hatta pecah maka uang itu palsu, jika tidak pecah maka uang itu asli ..”
Teman-temannya sudah mafhum dengan keadaan Yudhis. Mereka menerima Yudhis sebagai bagian dari komunitas kelas. Bahkan di beberapa kesempatan, Yudhis selalu dimintai tolong untuk membuatkan gambar komik sesuai dengan keinginan mereka. Ketika membuat poster dalam pembelajaran bahasa Indonesia, Yudhis diberi tugas untuk membuat gambar dan ilustrasi di saat teman kelompoknya merumuskan kata-kata dalam poster. Begitu pula ketika ada pentas kreasi atau unjuk tampil di panggung, teman-temannya menempatkan Yudhis sebagai illustrator dalam membuat aksesoris tampilan.
Pun sekolah, Yudhis beruntung bersekolah di lingkungan yang menerapkan konsep inklusi. Yudhis, seperti juga anak berkebutuhan khusus lainnya, bebas keluar masuk ruang guru. Sangat leluasa tidur-tiduran di sofa tempat menerima tamu sekolah yang ditaruh di ruang wakil kepala sekolah. Mengacak-acak buku perpustakaan. Minta digendong oleh guru jika ia sedang malas berjalan. Atau sekadar “mewawancarai” setiap orang yang ditemuinya di kantin sekolah. Tidak ada yang mempermasalahkannya atau menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang mengganggu.
Suatu waktu, Yudhis mengikuti kegiatan shalat Jumat di sekolah. Sesaat setelah khatib naik mimbar, Yudhis yang duduk di barisan tengah tiba-tiba menyerobot ke depan. Ia ingin duduk lebih dekat dengan mimbar. Matanya berbinar-binar. Entah kabar gembira apa yang membuatnya gembira pada hari itu. Lalu khatib mulai berceramah. Kebetulan waktu itu mendekati bulan Ramadhan, sehingga tema khutbah Jumat yang diangkat adalah tentang puasa.
“Jadi Allah SWT dalam Al Quran menyuruh kita, kaum muslimin untuk melaksanakan puasa!” seru khatib.
Kemudian Yudhis berdiri dan berteriak lantang, “APA ITU PUASA?”
Para hadirin mengalihkan mata ke arah yudhis. Bagi yang baru ikut shalat Jumat di sekolah, tatapan matanya bermakna, “Apa-apaan ini?”. Mereka tentu sangat faham bahwa ibadah shalat Jumat itu memiliki aturan tertentu, termasuk larangan berbicara bagi para hadirin ketika khutbah sedang berlangsung. Bagi guru, teman, orangtua, dan civitas sekolah, lirikan matanya berarti, “Ooo .. Yudhis ..”
Sang khatib, yang adalah salah seorang guru, menengok Yudhis dan lalu tersenyum.
“Puasa adalah menahan diri dari sesuatu yang membatalkan seperti makan dan minum dari sejak terbit fajar hingga waktu maghrib,” kata khatib.
Yudhis yang masih berdiri, berseru kembali, “BUAT APA SIH KITA PUASA?”
Khatib kembali melirik Yudhis, lalu berkata dalam khutbahnya, “Puasa adalah salah satu cara kita menjadi orang yang bertakwa.”
Tidak berhenti sampai situ, Yudhis kembali berseru, “KALAU BEGITU, APA ITU BERTAKWA?”
Kemudian khatib kembali “seolah-olah” menimpali pertanyaan Yudhis, “Bertakwa adalah merasa takut kepada Allah, khawatir kalau Allah tidak suka dengan perbuatan kita, sehingga kita semua menjalani hidup ini dengan penuh hati-hati.”
Khawatir ibadah shalat Jumat menjadi ajang diskusi dua orang saja, maka setiap memberikan penjelasan kalimat per kalimat dari ajuan pertanyaan Yudhis, khatib selalu mengarahkan pandangan matanya kepada hadirin. Walaupun para hadirin tetap melihat momen ini bagaikan tanya jawab antara guru dan murid layaknya di dalam kelas.
Tanpa memberi ruang jeda, khatib terus melanjutkan penjelasan seraya sesekali menatap Yudhis yang masih berdiri.
“Sederhananya, bertakwa adalah melakukan semua perbuatan yang diperintahkan Allah dan menjauhi semua perbuatan yang dilarang Allah. Dengan demikian mudah-mudahan Allah memberikan pahala yang sebesar-besarnya dan memasukkan kita kelak ke dalam surga, kekal di dalamnya, selama-lamanya.”
Rupanya penjelasan khatib sudah cukup membuat Yudhis puas dan terdiam. Namun kemudian alih-alih kembali duduk, Yudhis berjalan melangkahi satu barisan yang tersisa, dan kini ia berhadap-hadapan dengan khatib. Setelah sejenak menatap khatib, Yudhis bergerak mendekati mimbar, dan dengan setengah meloncat, Yudhis duduk di atas mimbar setinggi satu meter membelakangi khatib dan menghadap hadirin. Sambil mengayun-ayunkan kedua kakinya yang melayang, Yudhis menggerak-gerakkan kedua matanya, melirik ke kiri dan ke kanan, sambil sesekali memperhatikan khatib yang tanpa berhenti terus berkhutbah. Para hadirin, beberapa tersenyum dengan tingkah Yudhis, beberapa tidak terganggu karena sibuk dengan upayanya menahan rasa kantuk, beberapa lagi terlihat bingung karena harus memilih apakah harus berkonsentrasi pada khutbah atau mengamati keunikan tingkah Yudhis. Dan kebingungan itu terus berlanjut hingga khutbah usai.
Yang luar biasa dalam hal ini, tentu saja orangtua Yudhis. Ibunya luar biasa sabar dan penuh pengertian. Demikian pula dengan ayahnya. Karakter Yudhis yang moodnya kadang berubah-ubah, memerlukan penanganan yang super sabar. Sulit dibayangkan jika Yudhis tidak memiliki orangtua seperti mereka. Mungkin potensinya akan sulit terlihat dan tidak bisa dikembangkan. Saya ingat pernah suatu kesempatan berdialog panjang lebar dengan orangtua lain yang juga memiliki anak berkebutuhan khusus. Beliau, ibu itu, bercerita bagaimana sulitnya menerima kenyataan setelah mendengar vonis dokter bahwa anaknya autis. Ada kekecewaan, frustasi, dan penolakan. Tetapi sekeras-kerasnya ia menolak, takkan bisa mengubah takdir yang menggurat garis hidupnya. Dengan tegas dokter menyatakan bahwa proses pengobatan atau terapi sang anak tidak akan berjalan lancar jika orangtua tidak legowo menerima kenyataan. Karena perkembangan anak, baik-buruknya masa terapi, akan sangat dipengaruhi kepasrahan orangtua.
Satu lagi orang terdekat Yudhis yang luar biasa adalah adiknya. Karin, adik Yudhis, adalah teman terdekat dan paling setia. Sedikit atau satu-dua konflik terjadi di antara mereka terhitung sebagai hal yang lazim, layaknya kakak-adik dari keluarga lainnya. Tetapi Karin mampu memposisikan dirinya sebagai orang yang sangat memahami kakaknya.
Orang yang biasa akan terlupakan. Orang yang tidak biasa akan menjejakkan kenangan. Sebuah pohon cemara, seindah dan setinggi apapun, akan terlihat sama di antara deretan pohon cemara lainnya. Tetapi Yudhis, adalah pohon flamboyan, yang berdiri eksentrik di tengah-tengah gerombolan pohon cemara, dan membuat iri daun-daun cemara di sekitarnya.